Selasa, 17 Mei 2011

toleransi dan kebanggaan islam

Islamedia - Secara umum tentang toleransi beragama telah kita dapati gambaran yang begitu jelas dan memang gambaran ini merupakan konsep paling teruji sepanjang sejarah dalam hal toleransi yang pernah di bangun oleh Rasulullah Muhammad saw di Madinah. Piagam Madinah adalah sebuah perjanjian yang secara umum dikenal dengan Konstitusi Madinah, dimana pada satu sisi merekatkan ketiga suku-suku Muslim serta klan-klan mereka untuk bekerjasama satu sama lain, dan di sisi lain antara suku-suku Yahudi dengan suku-suku Muslim. Perjanjian itu berisi 52 Pasal, yang pasal keduanya diulang 20 kali, baik secara penuh ataupun dalam bentuk yang singkat dengan perubahan nama klan atau kelompok yang dimasukkan kedalam perjanjian tersebut pada tanggal yang berbeda.

Berdasarkan Piagam Madinah, semua pihak yang bersangkutan memiliki hak-hak dan kewajiban yang telah ditentukan. Mereka mempunyai kebebasan ideologi dan sosial secara penuh. Tapi dengan kewajiban bersama untuk menjaga dan mempertahankan kota Madinah dari serangan pihak luar, sementara biaya pertahanan harus dipikul bersama. Tapi bila terjadi persengketaan diantara mereka maka harus kembali kepada Allah swt dan Muhammad saw.

Secara keseluruhan, Piagam Madinah adalah penjabaran prinsip-prinsip kemasyarakatan yang diajarkan Al-Qur’an sekalipun pada waktu itu wahyu belum rampung diturunkan. Dengan kata lain Piagam Madinah adalah pembumian ajaran Al-Qur’an dalam bidang sosio kultural dan sosio politik. Tujuan ideal yang hendak dicapai ialah terciptanya suatu tatanan sosio politik yang tegak diatas landasan moral iman, tapi dengan menjamin hak kebebasan bagi setiap golongan untuk mengembangkan pola-pola budaya yang mereka pilih sesuai dengan keyakinan mereka.

Begitu pula dalam konteks kontemporer, Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non-Muslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non-Muslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. Al-Quran menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama.” (al-Baqarah:256). Karen Armstrong mencatat: “Therewas no tradition of religious persecution in the Islamic empire. (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam dunia Islam). (Karen Armstrong,Holy War: The Crusades and Their Impact onToday’s World,(London: McMillan London Limited, 1991), hal. 44).

Ajaran dan tradisi Islam dipenuhi dengan berbagai catatan tentang toleransi antar umat manusia. Ketinggian peradaban Islam pernah membawa rahmat bagi seluruh dunia, termasuk kepada masyarakat Barat, mendorong sejarawan Irlandia, TimWallace-Murphy, menulis sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: UnderstandingIslam’s Contribution to Western Civilization”(London: Watkins Publishing, 2006), seperti yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini dalam makalahnya “ Piagam Madinah dan Toleransi Beragama” (Depok: Seminar Sehari di gedung Sasana Amal Bakti Kementrian Agama RI, 2010). Ditengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat, buku ini memberikan gambaran yang sangat indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. Menurut Tim Wallace-Murphy, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya.

Jadi, sebagai satu peradaban besar yang masih eksis, kaum Muslim perlu mengenal sejarahnya dengan benar, sehingga tidak menjadi umat yang “minder” dan silau dengan konsep-konsep peradaban lain, yang mungkin tampak memukau, padahal justru bertentangan dan bahkan membawa kerusakan kepada kaum Muslim sendiri. Kini, kaumMuslim dibanjiri dengan istilah-istilah dan paham-paham yang jika tidak hati-hati justru dapat merusak ajaran Islam, seperti konsep Pluralisme, multikulturalisme, relativisme, dan sebagainya.

Peradaban Islam tidak akan eksis apalagi berkembang, jika umat Islam dihinggapi mental “minder”, tidak memiliki rasa kebangaan terhadap diri sendiri, dan terputus dari sejarahnya sendiri. Karena itulah, kajian-kajian sejarah dan konsep-konsep Islam secara komprehensif perlu dilakukan dengan serius dan benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar