Kamis, 19 Mei 2011

pesantren berubah

Pesantren tempo dulu
Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah karena kesuksesannya membela dan membangun keutuhan bangsa adalah keikhlasan Kiyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan subhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.

Keikhlasan Kiyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum?ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab segede ?alaihim? bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa. Tapi anehnya santrinya ko alim-alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. Mereka pulang langsung menjadi pahlawan tanpa jasa rakyat dan bangsa. Bandingkan dengan sekarang.

Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, SPP atau yang lainnya yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal seperti kiyai zaman sekarang.

Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu? (rendah diri) dan ketelatenan sang Kiyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berahlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu?ama dan fuqoha. Disamping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan serta kewira?ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.

Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung jadi Kiyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.

Sayangnya pesantren yang seperti itu (salaf produktif) kini jumlahnya sangat terbatas atau sekitar 10% dari 14.798 pesantren dengan jumlah santri 2.057-814 sesuai data departemen kesehatan ketika membagikan bantuan dana kesehatan Pondok pesantren pada tahun 2006 (NU.Online tanggal 8 september 2006). Terus sisanya menurut hemat kami hampir berubah menjadi ?rumah kos? santri yang diberi pengajian setelah cape belajar Matematika, IPA, IPS dan PPKN yang hukumnya berubah menjadi ?fardu ?Ain? setelah sebelumnya ?Haram?. Tapi kalau prakteknya sebaliknya mungkin lebih baik. Namun tradisi itu telah ?dihalalkan? oleh kebanyakan Kiyai dengan dalih tuntutan zaman dan modernisasi pendidikan dan yang lebih parah lagi karena

tuntutan untuk melanjutkan ke luar negeri? Terlalu rendah visi dan misi lembaga itu.
Diantara pesantren salaf yang masih mampu dan bertahan memegang peran para pendahulunya adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri jawa Timur dan lainnya keduanya masih tetap diakui masyarakat sebagai lembaga yang berhasil mencetak ulama, fuqoha yang siap terjun ke masyarakat tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya di luar Pesantren, berbeda dengan yang lain?

Pesantren sekarang
Tidak bisa dipungkiri akan posisi dan peran pesantren dalam membangun dan mengisi pembangunan Indonesia sampai detik ini dan ?murtadlah? orang yang mengingkari kenyataan itu. Karena sejak dulu Kiyai Pesantren, Ulama dan para santri juga kaum tarekat adalah ujung tombak dalam merebut dan mengisi kemerdekaan dari tangan penjajah. Seperti peran Kiayi Soleh Darat melawan Belanda, Pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten pada tahun 1888M yang dikenal dengan revolusi Petani dan para pendiri NU hampir semuannya terlibat dalam perang merebut dan mengisi kemerdekaan. Dan secara defacto bahwa Pesantren saat inilah adalah benteng moral dan aqidah masyarakat yang tak bisa tergantikan. Tapi sekarang semua pesantren kelihatannya tidak lagi mampu memberikan banyak harapan masyarakat dan orang tua dan wali santri, karena banyak pesantren yang sudah berubah menjadi lembaga pendidikan formal/negeri dan mengesampingkan formalitas pesantren yang sesungguhnya.

Ada beberapa sebab yang menyebabkan menurunnya mutu dan peran Pesantren dan ada beberapa wacana dan indikasi yang kelihatannya sangat mendorong banyak Kiyai melakukan reformasi pendidikan Pesantren dari salaf/tradisional ke semi moderen atau moderen yang terkadang kebablasan sehingga mengakibatkan tidak jelasnya sistim pendidikannya, alakadarnya yang penting rapi formalitasnya tanpa memikirkan mutu kepesantrenannya:

Pertama: wacana formalisasi Ijazah pesantren dengan dalih kondisi dan tuntutan zaman yang mengharuskan Ijazah negeri bagi setiap sektor kemasyarakatan dan kenegaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong para kiyai rameh-rameh ?gagah-gagahan? bangunan dan sistim pendidikan formal dengan segala formalitasnya untuk menarik santri baru yang terkadang menjerumuskannya kepada hal yang menghilangkan kewira?ian yang pernah dipegang teguh para pendahulunya. Hingga sampailah kepada lobi-lobi proposal dana bangunan yang sering terkesan monopoli dan dimenangkan oleh satu yayasan karena kuatnya lobi dan posisi sang kiyai.

Kedua: Banyak Pesantren yang misi utamanya hanya memberikan kesempatan kepada lulusannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di dalam dan luar negeri. Ini jelas merupakan ?pembodohan? masyarakat yang sistimatis. Karena itu satu bukti bahwa lembaga itu tidak mampu mendidik santrinya menjadi lulusan yang berkualitas (Allamah dan faqih). Pesantren model inilah yang sekarang laris manis.

Ketiga: Perbedaan kekiyaian yang dimiliki Kiyai sekarang sangat jauh berbeda dengan kiyai pesantren tempo dulu. Kalau dulu Kiyai seneng puasa, riyadoh, kholwat dan tirakat untuk diri dan santrinya, kini sifat-sifat tulus dan karomah seperti itu sangat jarang kita temukan. Justru yang menjadi wacana adalah kampanye partai, calon gubernur, bupati dan caleg serta perseteruan dan perebutan posisi di dalam dan luar Pesantren. Ini jelas-jelas merusak nilai lahir dan batin Pesantren yang mengakibatkan tidak ?mberkahinya? Kiyai kepada santri. Walaupun itu adalah buah perputaran waktu tapi semuanya tetap memberikan dampak negatif bagi pribadi Kiyai, santri dan Pesantren dalam penilaian masyarakat.

Bahkan sekarang banyak Kiyai yang lupa dengan jadwal pengajiannya karena sibuk mengikuti kampanye, orasi caleg dan undangan pengajian. Sementara santri tetap setia di tempat belajarnya tanpa ada yang mulang (ngajar). Keterlibatan Kiyai dalam gerakan politik dan sejenisnya telah mengahancurkan nilai, mutu dan citra pesantren. Itulah realitas banyak Pesantren saat ini berubah menjadi kos-kosan santri, bukan pondok ngaji. Bahkan ada seorang pengasuh Pesantren yang selalu ?ngelencer? keluar negeri, tidak pernah mulang santrinya. Lho ko seperti itu tidak terima dikatakan Pesantrenya tidak bermutu, bagaimana mungkin bisa melahirkan ulama, kiyai atau ustad yang mumpuni? Tapi ia bangga merasa menjadi Kiayi yang paling sibuk.

Pesantren model seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan hampir semuanya, terutama Pesantren Kecil. Dan diantara Pesantren yang paling parah mengalami perubahan seribu derajat adalah Pesantren Bahrul Ulum dan Darul Ulum Jombang Jawa Timur , termasuk Tebuireng dan lainnya. Keduanya dalam masa pendirinya termasuk Pesantren yang berhasil mencetak ulama dan fuqoha Nasional, tapi kini tidak lagi. Karena kemunduran kekiyaian dan perubahan status bukan? Disamping peran Kiyai yang ?kurang telaten? ngopeni santri karena sibuk diluar sehingga tidak melahirkan karomah yang bisa mberkahi santrinya.

Belajar lagi
Benar pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia bahkan di dunia? Tapi dalam ajaran ahlak pesantren diajarkan bahwa orang yang tuapun kalau tidak bisa harus belajar dari yang bisa walaupun dari yang lebih muda usianya. Untuk itulah ketertinggalan sistim pendidikan dan menejemen Pesantren saat ini oleh lembaga lainnya perlu segera kita benahi dengan cara ikut ?ngesahi? dari pendidikan lainnya. Dan kalau ada yang mengatakan bahwa Pesantren saat ini tidak perlu belajar dari Muhammadiyah dan lainnya adalah merupakan sikap ?takabur? yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pesantren dan sikap seperti itu jelas merupakan satu bukti ?kemunduran? kekiyaian Pesantren itu sendiri.

Kami sangat setuju dengan pendapat Menteri Agama (dalam pertemuan Semarang) bahwa pola pendidikan keagamaan Pesantren, bukan silabinya, saat ini harus mau belajar dari Muahamadiyah dan yang lain yang telah sukses membangun menejemen pendidikan yang dapat meluluskan sarjana yang berkualitas dan diakui masyarakat dalam ilmu-ilmu praktis. Kami sebagai warga Pesantren/NU yang lahir dan besar dalam keluarga NU belum bisa merasa bangga menjadi anggota NU sekalipun kami sangat bangga dengan NU, karena kami belum menemukan kemampuan orang-orang NU dalam membangun pendidikannya tingkat MI sekalipun apalagi Universitas. Karena itulah, kami bangga sebagai orang pesantren/NU dalam beragama tapi sebagai Muhammadiyah dalam ?madzhab? pendidikan dan pemikiran sosial dan pengembangan ekonomi rakyat.

Untuk itulah kalau Pesantren yang moderen atau semi moderen jika ingin maju dan bermutu kita masih perlu belajar dari lembaga-lembaga lain yang telah terbukti kualitasnya karena kesuksesan menejemennya. Sementara Pesantren yang salaf harus mempertahankan kesalafannya karena sekarang sudah mulai ada kesetaraan ijazah pesantren dengan Ijazah negeri seperti Pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Kalau begitu kenapa mesti kita berganti baju?

Pesantren di masa akan datang
Berangkat dari kenyataan dari ribuan Pesantren yang ada seperti kami sampaikan di atas jelas Pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang kami maksud hanya sebatas menejemen bukan corak apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu?asyir (moderen) karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji karena ngajinya setelah belajar PPKN. Berbeda kalau dibalik. Sehingga jangan heran kalau sekarang banyak ketua dan pengurus NU dan jajaran PBNU tidak bisa paham kitab gundul.

Memenuhi kesetaraan Ijazah atau membekali santri dengan Ijazah negeri sangat diperlukan di masa yang akan datang tapi prakteknya tidak boleh kebablasan dengan memformalkan sekolah umumnya dan mengabaikan pendidikan formal pesantrennya. Dapat kita hitung dari sekian ribu Pesantren hanya berapa saja yang memiliki sekolah formal Pesantren dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren sampai perguruan Tinggi. Jawabnya: sangat sedikit sekali. Format seperti itu jelas akan menghilangkan hakekat dan nilai Pesantren yang telah dirintis dan dibangun serta dilestarikan oleh para pendahulu kita sejak era Wali Songo sang pembela bangsa, Negara dan Agama.

Maka, idealnya pesantren kedepan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khusus kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa Inggris, skkil lainnya dan mengadakan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoho yang mumpuni, bukan ustad televisi, tanpa harus mengikuti belajar ke luar negeri dan dalam negeri.

Kedepan pesantren juga tidak cukup dikendalikan dengan menejemen keikhlasan seorang Kiyai seperti yang terjadi pada ulama dan Kiyai tempo dulu. Kalau dulu hal itu memungkinkan karena keikhlasan itu telah mampu melahirkan energi ruhiah secara instan berupa kepahaman santri (laduni), manfaatnya ilmu, karomah dan sebagainya. Tapi sekarang telah berubah keadaan banyak sisi dan persoalan yang harus dimenej dengan professional mulai dari uang SPP, Bangunan, Gaji, catering santri dan lain sebagainya. Dan hal seperti itu ternyata kurang diperhatikan oleh banyak Pesantren padahal itu modal utama pengembangan ekonomi Pesantren seperti yang dialami Pesantren Sidogiri. Karena banyaknya Pesantren bermodalkan menejemen ?sarung Cupet? akhirnya banyak pesantren hidupnya hanya mengandalkan proposal.

Akhirnya kemauan para Kiyai untuk berubah, menata Pesantren dengan belajar dari kesukssesan yang lain, tidak ekseklusif, dan tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat dan tetap mempertahankan tradisi salaf dengan berbagai aspeknya lahir dan batin agar peran pesantren yang sesungguhnya bisa dirasakan oleh masyarakat adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Pesantren jika tidak ingin ditinggalkan karena dikatakan tertinggal. Dan kemampuan Pesantren untuk berdiri sendiri dalam mencetak santrinya menjadi ulama, fuqoha dan ustad yang siap terjun dimasyarakat (instant) adalah bukti keberhasilan pesantren itu bukan dengan diterimanya santri kuliah di dalam dan luar negeri dan mengandalkan bantuan pihak lain. Waalhu a?lam.

* Disampaikan pada acara Halaqoh Kebangsaan 
http://www.facebook.com/topic.php?uid=226352518543&topic=16253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar