Minggu, 22 Mei 2011

yang menjadi perekan kita





Salah satu hal yang sangat berperan dalam upaya kita meningkatkan takwa pada Allah SWT adalah mengingat mati dan kehidupan di akhirat. Bahwa semua makhluk tanpa kecuali akan meninggalkan dunia yang sementara ini. Entah nanti, atau besok, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kita semua pasti akan mati.  كل نفس ذائقة الموت  (Setiap makhluk hidup pasti akan mati). Dan kita, sebagai umat Islam memang diperintahkan untuk sering-sering ingat mati agar hidup kita menjadi baik. Nabi bersabda: أكثروا ذكر هاذم اللذات (Perbanyaklah mengingat pemutus keenakan duniawi).
Selanjutnya, berkaitan dengan kehidupan di akhirat, ada dua hal utama yang harus selalu menjadi peringatan bagi kita. Pertama, bahwa hidup di dunia ini teramat sangat sementara, dan hidup di akhirat itu tiada batasnya. Andaikan saja kita dikaruniai umur panjang sampai 100 tahun, maka sebenarnya itu hanyalah sepersepuluh hari akhirat. Sebab 1 hari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia. Ini didasarkan pada ayat ke-7 surat As-Sajdah yang berarti:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNYA dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.
Jadi, secara matematis masa 100 tahun di dunia = 2 jam 24 menit (menurut perhitungan akhirat). Lebih detil lagi, 1 jam akhirat = 41,66 tahun, 1 menit = sekitar 255 hari, dan 1 detik = 4,25 hari.
Kedua, bahwa semua perbuatan yang kita lakukan di dunia terekam oleh tubuh kita. Kita harus tahu bahwa agama kita tidak mengajarkan apa yang sering diungkapkan orang “surgo nunut neroko katut (ke surga numpang, ke neraka ikut). Karena yang benar adalah, orang masuk surga karena amal baiknya, dan yang masuk neraka karena kesalahannya sendiri. Sehingga ada sebuah ilustrasi (penggambaran) di dalam al-Quran surat al-Anam ayat 94. Seolah-olah ketika nanti di hari Kiamat dan kita berbondong-bondong menuju pengadilan Allah, terpampang sebuah sepanduk besar yang artinya:
Dan sungguh kalian telah datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami ciptakan kalian pada mulanya. Dan kalian tinggalkan di dunia apa yang telah Kami karuniakan pada kalian. dan Kami tiada melihat bersama kalian pemberi syafa'at yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu. Sungguh telah terputus hubungan-hubungan di antara kalian dan lenyaplah apa yang dahulu (di dunia) kalian anggap (sebagai sekutu Allah).
Kita lahir di dunia dari dua garba ibu sebagai pribadi-pribadi. Tetapi kemudian kita dituntut untuk hidup yang baik. Dan kebaikan kita di dunia ini selalu diukur secara sosial. Perbuatan baik adalah perbuatan baik dalam konteks sosial. Itulah makanya manusia disebut makhluk sosial. Makhluk yang harus selalu memikirkan sesamanya. Seperti dilambangkan dalam ucapan terakhir setiap kali kita salat, yaitu assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh (semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah senantiasa tercurah untuk kalian) sambil menengok ke kanan dan kiri. Seakan ini adalah peringatan dari Allah SWT, “Kalau kamu sudah melaksanakan salat untuk mengingatku, maka sekarang buktikan bahwa kamu mempunyai tekad baik untuk memperhatikan sesama makhluk di sekitarmu. Tengoklah kanan-kirimu karena masih banyak yang membutuhkan bantuan.”
Jadi kita menjadi makhluk sosial di dunia ini. Tapi ketika kita mati nanti, dan memasuki alam kubur, kita menjadi makhluk pribadi kembali. Seluruh perbuata kita di dunia, baik dan buruk, hanya kita sendiri yang menanggung. Allah telah memperingatkan dalam surat Luqman ayat 33 yang artinya:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia menipu kalian, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kalian.
Pengadilan Allah sama sekali tidak menerima tebusan. Tebusan (عدل) dalam sistem hukum negara kita tidak dikenal. Makanya orang yang sedang menjalani hukuman di penjara, kalau dia mau keluar untuk sementara dia harus menyuap petugas. Istilahnya menyuap tidak menebus. Tapi di negara Inggris, sistem hukumnya mengakui adanya tebusan, atau dikenal dengan istilah bail. Di akhirat kelak, sama sekali tidak ada tebusan apalagi suap. Semuanya harus berhadapan dengan Allah sendiri-sendiri. Praktek pengadilan Ilahi di hari akhirat kelak telah dijelaskan dengan gamblang dalam surat Yasin ayat 65 yang artinya:
Pada hari itu Kami bungkam mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka, sedankan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian atas apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Jadi, badan kita ini akan menjadi saksi. Jika mulut mencoba mengingkari suatu tuduhan dalam pengadilan Allah nanti, maka yang akan membantah adalah tangan kita sendiri, dan kaki kita akan menjadi saksi. Ini adalah peringatan yang sangat kuat yang harus selalu kita renungkan.
Secara ilmiah kita bisa mengatakan bahwa badan kita ini memang bisa menjadi saksi dari seluruh perbuatan kita. Sebuah teori mengatakan bahwa sebenarnya segala kejadian di alam raya ini tidak ada yang hilang tanpa terekam. Kejadian-kejadian itu terekam di angkasa juga di dalam diri kita sendiri. Sebagai contoh dari proses perekaman ini adalah fungsi DNA (deoxyribonucleic acid) dan gen. DNA dan gen berfungsi sebagai perekam semua bentuk dan karakter/watak kita. DNA terdapat di dalam gen, gen ada di dalam kromosom, dan kromosom terdapat di dalam sel. Dan perlu kita tahu bahwa semua makhluk hidup memiliki sel. Baik DNA, gen, kromosom, dan sel, semuanya adalah benda-benda mikroskopis (yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop). Tetapi justru di dalam DNA itulah terekam seluruh informasi mengenai diri kita. Apakah rambut kita ikal atau lurus, hidung kita pesek atau mancung, watak kita penggembira atau gampang sedih, watak kita supel atau tertutup, semuanya ada di dalam benda-benda yang tak terlihat oleh mata telanjang kita.
Oleh karenanya, jika al-Quran mengatakan bahwa badan kita menjadi perekam dari seluruh perbuatan kita, adalah suatu hal yang benar adanya. Karena di dalam tubuh kita ini terdapat milyaran DNA dan gen. Dan semuanya itu kelak akan berbicara pada Allah SWT melalui tangan dan kaki kita seperti dilukiskan di dalam surat Yasin ayat 65 tsb.

dari : 

jilbab ku .

dilema yang aku hadapi ,
berjilbab ? entahlah membuatku bingung .
teman-temanku gada yang berjilbab bahkan hampir mreka smua orang non islam . bagaimana ini ? dilemaku menjadi sangat berat .
sahabatku , tak terasa waktu telah habis dan kamu menemaniku .
tapi kamu berbeda dengan aku . sangat berbeda .
apakah kita akan tetap bersama dengan perbedaan ini ?
jilbab , itu yang sangat membuatku dan kamu berbeda .
tapi tanpa itu ku tak bisa mencari jati diriku . kamu dengan apa yang ada juga mencari hidupmu .
berada disampingmu sangatlah berat .
kata guru ku " hidup dan berteman diantara orang seperti kamu adalah hal yang mulia dan bahkan itu lebih mulia di banding apapun ."
dan jika aku tetap menjaga jilbab ku dengan selalu mengingat akan siksa neraka .
makasi teman , sahabatku .
kamu yang terbaik menjadi dirimu dan begitu pula aku .
 

Kamis, 19 Mei 2011

moral remaja degradasi

Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal diperkotaan dan khususnya kelakuan remaja Indonesia. Sebagaimana  diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka, sedangkan di sisi lain media merasa kaum remajalah yang tepat menjadi konsumen dari berbagai produk yang ditawarkan.
Seperti diketahui bersama bahwa media, berperan besar dalam pembentukan budaya masyarakat dan proses peniruan gaya hidup, tidak mengherankan pada masa sekarang adanya perubahan cepat dalam teknologi informasi menimbulkan pengaruh negatif, meskipun pengaruh positifnya masih terasa. Kalau dapat diumpamakan remaja perkotaan sudah tertular dengan gaya hidup barat. Hal ini terlihat pada remaja mengikuti perkembangan mode dunia, mulai dari fashion, gaya rambut, casting HP yang berganti-ganti, pakaian dan sebagainya. Melalui pengaruh ini, remaja diajarkan untuk hidup boros dan menjadi tidak kritis terhadap persoalan sosial yang terjadi dimasyarakat karena terbuai dengan perkembangan zaman.
Lebih jauh lagi,  dampak bagi remaja dapat dilihat khususnya remaja perempuan cenderung tertanam dalam pandangan mereka jika perempuan menarik adalah perempuan yang agresif dan seksi. Selain itu, dengan semakin mudahnya remaja mendapatkan VCD porno dan internet yang menampilkan gambar-gambar porno, membuat para remaja penasaran untuk mencobanya, malalui kehidupan seks bebas atau bahkan jika hasrat seksualnya tinggi bisa nekat melakukan pemerkosaan.
Di samping itu juga,  terdapat juga pemilik warung kecil terlihat menjajakan “kondom”, pemilik warung tersebut menegaskan bahwa yang menjadi pembeli utama adalah kaum remaja tidak terlepas dari kalangan lain. Dalam pada itu, terdapat juga fenomena kehidupan remaja diperkotaan sering terlihat terdapat berduan pasangan muda-mudi yang belum resmi melakukan sikap tidak sesuai dengan norma, ironisnya lagi terkadang terjadi penggeledahan oleh pihak yang berwenang karena terdapat praktek mesum. Selain itu juga remaja putri yang berjilbab pun patut dipertanyakan, meskipun tidak semuanya. Sungguh pemandangan yang kiranya menandakan bahwa moral remaja bangsa ini mulai merosot.
Memang kita sadari, meskipun persoalan tersebut tidak semuanya remaja mengalami hal tersebut. Lantas bagaimana menyikapi persoalan tersebut? Sebenarnya banyak cara untuk mengatasi persoalan tersebut selain faktor keimanan, juga niat kita untuk benar-benar menjauhi sikap buruk tersebut. Tidak terlepas juga barangkali peranan keluarga dan peran media harus memberikan informasi yang benar, hak untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri, bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecehan, kekerasan dan eksploitasi seksual mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk mengakses dan mendapatkan informasi, serta bebas dari narkoba, pornografi dan sebagainya.
Dengan demikian bila melihat persolan tersebut sudah saatnya kita bersama harus membentengi diri dengan keimanan tidak terlepas juga harus bersifat selektif dalam bentuk apa pun agar tidak tertindas dari perkembangan kemajuan yang mengarah pada rusaknya moral bangsa ini. Pendek kata,  mari kita ambil nilai-nilai dari perkembangan zaman tapi tinggalkan sesuatu yang tidak baik.

http://hamsin.wordpress.com/2008/06/13/krisis-moral-remaja/

pesantren berubah

Pesantren tempo dulu
Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah karena kesuksesannya membela dan membangun keutuhan bangsa adalah keikhlasan Kiyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan subhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.

Keikhlasan Kiyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum?ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab segede ?alaihim? bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa. Tapi anehnya santrinya ko alim-alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. Mereka pulang langsung menjadi pahlawan tanpa jasa rakyat dan bangsa. Bandingkan dengan sekarang.

Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, SPP atau yang lainnya yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal seperti kiyai zaman sekarang.

Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu? (rendah diri) dan ketelatenan sang Kiyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berahlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu?ama dan fuqoha. Disamping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan serta kewira?ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.

Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung jadi Kiyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.

Sayangnya pesantren yang seperti itu (salaf produktif) kini jumlahnya sangat terbatas atau sekitar 10% dari 14.798 pesantren dengan jumlah santri 2.057-814 sesuai data departemen kesehatan ketika membagikan bantuan dana kesehatan Pondok pesantren pada tahun 2006 (NU.Online tanggal 8 september 2006). Terus sisanya menurut hemat kami hampir berubah menjadi ?rumah kos? santri yang diberi pengajian setelah cape belajar Matematika, IPA, IPS dan PPKN yang hukumnya berubah menjadi ?fardu ?Ain? setelah sebelumnya ?Haram?. Tapi kalau prakteknya sebaliknya mungkin lebih baik. Namun tradisi itu telah ?dihalalkan? oleh kebanyakan Kiyai dengan dalih tuntutan zaman dan modernisasi pendidikan dan yang lebih parah lagi karena

tuntutan untuk melanjutkan ke luar negeri? Terlalu rendah visi dan misi lembaga itu.
Diantara pesantren salaf yang masih mampu dan bertahan memegang peran para pendahulunya adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri jawa Timur dan lainnya keduanya masih tetap diakui masyarakat sebagai lembaga yang berhasil mencetak ulama, fuqoha yang siap terjun ke masyarakat tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya di luar Pesantren, berbeda dengan yang lain?

Pesantren sekarang
Tidak bisa dipungkiri akan posisi dan peran pesantren dalam membangun dan mengisi pembangunan Indonesia sampai detik ini dan ?murtadlah? orang yang mengingkari kenyataan itu. Karena sejak dulu Kiyai Pesantren, Ulama dan para santri juga kaum tarekat adalah ujung tombak dalam merebut dan mengisi kemerdekaan dari tangan penjajah. Seperti peran Kiayi Soleh Darat melawan Belanda, Pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten pada tahun 1888M yang dikenal dengan revolusi Petani dan para pendiri NU hampir semuannya terlibat dalam perang merebut dan mengisi kemerdekaan. Dan secara defacto bahwa Pesantren saat inilah adalah benteng moral dan aqidah masyarakat yang tak bisa tergantikan. Tapi sekarang semua pesantren kelihatannya tidak lagi mampu memberikan banyak harapan masyarakat dan orang tua dan wali santri, karena banyak pesantren yang sudah berubah menjadi lembaga pendidikan formal/negeri dan mengesampingkan formalitas pesantren yang sesungguhnya.

Ada beberapa sebab yang menyebabkan menurunnya mutu dan peran Pesantren dan ada beberapa wacana dan indikasi yang kelihatannya sangat mendorong banyak Kiyai melakukan reformasi pendidikan Pesantren dari salaf/tradisional ke semi moderen atau moderen yang terkadang kebablasan sehingga mengakibatkan tidak jelasnya sistim pendidikannya, alakadarnya yang penting rapi formalitasnya tanpa memikirkan mutu kepesantrenannya:

Pertama: wacana formalisasi Ijazah pesantren dengan dalih kondisi dan tuntutan zaman yang mengharuskan Ijazah negeri bagi setiap sektor kemasyarakatan dan kenegaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong para kiyai rameh-rameh ?gagah-gagahan? bangunan dan sistim pendidikan formal dengan segala formalitasnya untuk menarik santri baru yang terkadang menjerumuskannya kepada hal yang menghilangkan kewira?ian yang pernah dipegang teguh para pendahulunya. Hingga sampailah kepada lobi-lobi proposal dana bangunan yang sering terkesan monopoli dan dimenangkan oleh satu yayasan karena kuatnya lobi dan posisi sang kiyai.

Kedua: Banyak Pesantren yang misi utamanya hanya memberikan kesempatan kepada lulusannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di dalam dan luar negeri. Ini jelas merupakan ?pembodohan? masyarakat yang sistimatis. Karena itu satu bukti bahwa lembaga itu tidak mampu mendidik santrinya menjadi lulusan yang berkualitas (Allamah dan faqih). Pesantren model inilah yang sekarang laris manis.

Ketiga: Perbedaan kekiyaian yang dimiliki Kiyai sekarang sangat jauh berbeda dengan kiyai pesantren tempo dulu. Kalau dulu Kiyai seneng puasa, riyadoh, kholwat dan tirakat untuk diri dan santrinya, kini sifat-sifat tulus dan karomah seperti itu sangat jarang kita temukan. Justru yang menjadi wacana adalah kampanye partai, calon gubernur, bupati dan caleg serta perseteruan dan perebutan posisi di dalam dan luar Pesantren. Ini jelas-jelas merusak nilai lahir dan batin Pesantren yang mengakibatkan tidak ?mberkahinya? Kiyai kepada santri. Walaupun itu adalah buah perputaran waktu tapi semuanya tetap memberikan dampak negatif bagi pribadi Kiyai, santri dan Pesantren dalam penilaian masyarakat.

Bahkan sekarang banyak Kiyai yang lupa dengan jadwal pengajiannya karena sibuk mengikuti kampanye, orasi caleg dan undangan pengajian. Sementara santri tetap setia di tempat belajarnya tanpa ada yang mulang (ngajar). Keterlibatan Kiyai dalam gerakan politik dan sejenisnya telah mengahancurkan nilai, mutu dan citra pesantren. Itulah realitas banyak Pesantren saat ini berubah menjadi kos-kosan santri, bukan pondok ngaji. Bahkan ada seorang pengasuh Pesantren yang selalu ?ngelencer? keluar negeri, tidak pernah mulang santrinya. Lho ko seperti itu tidak terima dikatakan Pesantrenya tidak bermutu, bagaimana mungkin bisa melahirkan ulama, kiyai atau ustad yang mumpuni? Tapi ia bangga merasa menjadi Kiayi yang paling sibuk.

Pesantren model seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan hampir semuanya, terutama Pesantren Kecil. Dan diantara Pesantren yang paling parah mengalami perubahan seribu derajat adalah Pesantren Bahrul Ulum dan Darul Ulum Jombang Jawa Timur , termasuk Tebuireng dan lainnya. Keduanya dalam masa pendirinya termasuk Pesantren yang berhasil mencetak ulama dan fuqoha Nasional, tapi kini tidak lagi. Karena kemunduran kekiyaian dan perubahan status bukan? Disamping peran Kiyai yang ?kurang telaten? ngopeni santri karena sibuk diluar sehingga tidak melahirkan karomah yang bisa mberkahi santrinya.

Belajar lagi
Benar pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia bahkan di dunia? Tapi dalam ajaran ahlak pesantren diajarkan bahwa orang yang tuapun kalau tidak bisa harus belajar dari yang bisa walaupun dari yang lebih muda usianya. Untuk itulah ketertinggalan sistim pendidikan dan menejemen Pesantren saat ini oleh lembaga lainnya perlu segera kita benahi dengan cara ikut ?ngesahi? dari pendidikan lainnya. Dan kalau ada yang mengatakan bahwa Pesantren saat ini tidak perlu belajar dari Muhammadiyah dan lainnya adalah merupakan sikap ?takabur? yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pesantren dan sikap seperti itu jelas merupakan satu bukti ?kemunduran? kekiyaian Pesantren itu sendiri.

Kami sangat setuju dengan pendapat Menteri Agama (dalam pertemuan Semarang) bahwa pola pendidikan keagamaan Pesantren, bukan silabinya, saat ini harus mau belajar dari Muahamadiyah dan yang lain yang telah sukses membangun menejemen pendidikan yang dapat meluluskan sarjana yang berkualitas dan diakui masyarakat dalam ilmu-ilmu praktis. Kami sebagai warga Pesantren/NU yang lahir dan besar dalam keluarga NU belum bisa merasa bangga menjadi anggota NU sekalipun kami sangat bangga dengan NU, karena kami belum menemukan kemampuan orang-orang NU dalam membangun pendidikannya tingkat MI sekalipun apalagi Universitas. Karena itulah, kami bangga sebagai orang pesantren/NU dalam beragama tapi sebagai Muhammadiyah dalam ?madzhab? pendidikan dan pemikiran sosial dan pengembangan ekonomi rakyat.

Untuk itulah kalau Pesantren yang moderen atau semi moderen jika ingin maju dan bermutu kita masih perlu belajar dari lembaga-lembaga lain yang telah terbukti kualitasnya karena kesuksesan menejemennya. Sementara Pesantren yang salaf harus mempertahankan kesalafannya karena sekarang sudah mulai ada kesetaraan ijazah pesantren dengan Ijazah negeri seperti Pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Kalau begitu kenapa mesti kita berganti baju?

Pesantren di masa akan datang
Berangkat dari kenyataan dari ribuan Pesantren yang ada seperti kami sampaikan di atas jelas Pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang kami maksud hanya sebatas menejemen bukan corak apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu?asyir (moderen) karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji karena ngajinya setelah belajar PPKN. Berbeda kalau dibalik. Sehingga jangan heran kalau sekarang banyak ketua dan pengurus NU dan jajaran PBNU tidak bisa paham kitab gundul.

Memenuhi kesetaraan Ijazah atau membekali santri dengan Ijazah negeri sangat diperlukan di masa yang akan datang tapi prakteknya tidak boleh kebablasan dengan memformalkan sekolah umumnya dan mengabaikan pendidikan formal pesantrennya. Dapat kita hitung dari sekian ribu Pesantren hanya berapa saja yang memiliki sekolah formal Pesantren dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren sampai perguruan Tinggi. Jawabnya: sangat sedikit sekali. Format seperti itu jelas akan menghilangkan hakekat dan nilai Pesantren yang telah dirintis dan dibangun serta dilestarikan oleh para pendahulu kita sejak era Wali Songo sang pembela bangsa, Negara dan Agama.

Maka, idealnya pesantren kedepan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khusus kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa Inggris, skkil lainnya dan mengadakan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoho yang mumpuni, bukan ustad televisi, tanpa harus mengikuti belajar ke luar negeri dan dalam negeri.

Kedepan pesantren juga tidak cukup dikendalikan dengan menejemen keikhlasan seorang Kiyai seperti yang terjadi pada ulama dan Kiyai tempo dulu. Kalau dulu hal itu memungkinkan karena keikhlasan itu telah mampu melahirkan energi ruhiah secara instan berupa kepahaman santri (laduni), manfaatnya ilmu, karomah dan sebagainya. Tapi sekarang telah berubah keadaan banyak sisi dan persoalan yang harus dimenej dengan professional mulai dari uang SPP, Bangunan, Gaji, catering santri dan lain sebagainya. Dan hal seperti itu ternyata kurang diperhatikan oleh banyak Pesantren padahal itu modal utama pengembangan ekonomi Pesantren seperti yang dialami Pesantren Sidogiri. Karena banyaknya Pesantren bermodalkan menejemen ?sarung Cupet? akhirnya banyak pesantren hidupnya hanya mengandalkan proposal.

Akhirnya kemauan para Kiyai untuk berubah, menata Pesantren dengan belajar dari kesukssesan yang lain, tidak ekseklusif, dan tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat dan tetap mempertahankan tradisi salaf dengan berbagai aspeknya lahir dan batin agar peran pesantren yang sesungguhnya bisa dirasakan oleh masyarakat adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Pesantren jika tidak ingin ditinggalkan karena dikatakan tertinggal. Dan kemampuan Pesantren untuk berdiri sendiri dalam mencetak santrinya menjadi ulama, fuqoha dan ustad yang siap terjun dimasyarakat (instant) adalah bukti keberhasilan pesantren itu bukan dengan diterimanya santri kuliah di dalam dan luar negeri dan mengandalkan bantuan pihak lain. Waalhu a?lam.

* Disampaikan pada acara Halaqoh Kebangsaan 
http://www.facebook.com/topic.php?uid=226352518543&topic=16253

Selasa, 17 Mei 2011

toleransi dan kebanggaan islam

Islamedia - Secara umum tentang toleransi beragama telah kita dapati gambaran yang begitu jelas dan memang gambaran ini merupakan konsep paling teruji sepanjang sejarah dalam hal toleransi yang pernah di bangun oleh Rasulullah Muhammad saw di Madinah. Piagam Madinah adalah sebuah perjanjian yang secara umum dikenal dengan Konstitusi Madinah, dimana pada satu sisi merekatkan ketiga suku-suku Muslim serta klan-klan mereka untuk bekerjasama satu sama lain, dan di sisi lain antara suku-suku Yahudi dengan suku-suku Muslim. Perjanjian itu berisi 52 Pasal, yang pasal keduanya diulang 20 kali, baik secara penuh ataupun dalam bentuk yang singkat dengan perubahan nama klan atau kelompok yang dimasukkan kedalam perjanjian tersebut pada tanggal yang berbeda.

Berdasarkan Piagam Madinah, semua pihak yang bersangkutan memiliki hak-hak dan kewajiban yang telah ditentukan. Mereka mempunyai kebebasan ideologi dan sosial secara penuh. Tapi dengan kewajiban bersama untuk menjaga dan mempertahankan kota Madinah dari serangan pihak luar, sementara biaya pertahanan harus dipikul bersama. Tapi bila terjadi persengketaan diantara mereka maka harus kembali kepada Allah swt dan Muhammad saw.

Secara keseluruhan, Piagam Madinah adalah penjabaran prinsip-prinsip kemasyarakatan yang diajarkan Al-Qur’an sekalipun pada waktu itu wahyu belum rampung diturunkan. Dengan kata lain Piagam Madinah adalah pembumian ajaran Al-Qur’an dalam bidang sosio kultural dan sosio politik. Tujuan ideal yang hendak dicapai ialah terciptanya suatu tatanan sosio politik yang tegak diatas landasan moral iman, tapi dengan menjamin hak kebebasan bagi setiap golongan untuk mengembangkan pola-pola budaya yang mereka pilih sesuai dengan keyakinan mereka.

Begitu pula dalam konteks kontemporer, Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non-Muslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non-Muslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. Al-Quran menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama.” (al-Baqarah:256). Karen Armstrong mencatat: “Therewas no tradition of religious persecution in the Islamic empire. (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam dunia Islam). (Karen Armstrong,Holy War: The Crusades and Their Impact onToday’s World,(London: McMillan London Limited, 1991), hal. 44).

Ajaran dan tradisi Islam dipenuhi dengan berbagai catatan tentang toleransi antar umat manusia. Ketinggian peradaban Islam pernah membawa rahmat bagi seluruh dunia, termasuk kepada masyarakat Barat, mendorong sejarawan Irlandia, TimWallace-Murphy, menulis sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: UnderstandingIslam’s Contribution to Western Civilization”(London: Watkins Publishing, 2006), seperti yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini dalam makalahnya “ Piagam Madinah dan Toleransi Beragama” (Depok: Seminar Sehari di gedung Sasana Amal Bakti Kementrian Agama RI, 2010). Ditengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat, buku ini memberikan gambaran yang sangat indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. Menurut Tim Wallace-Murphy, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya.

Jadi, sebagai satu peradaban besar yang masih eksis, kaum Muslim perlu mengenal sejarahnya dengan benar, sehingga tidak menjadi umat yang “minder” dan silau dengan konsep-konsep peradaban lain, yang mungkin tampak memukau, padahal justru bertentangan dan bahkan membawa kerusakan kepada kaum Muslim sendiri. Kini, kaumMuslim dibanjiri dengan istilah-istilah dan paham-paham yang jika tidak hati-hati justru dapat merusak ajaran Islam, seperti konsep Pluralisme, multikulturalisme, relativisme, dan sebagainya.

Peradaban Islam tidak akan eksis apalagi berkembang, jika umat Islam dihinggapi mental “minder”, tidak memiliki rasa kebangaan terhadap diri sendiri, dan terputus dari sejarahnya sendiri. Karena itulah, kajian-kajian sejarah dan konsep-konsep Islam secara komprehensif perlu dilakukan dengan serius dan benar

Senin, 16 Mei 2011

pluralisme

Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit”). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung “Tradisionalisme” Membangun Pluralisme Agama).
Selain itu aspek penting fahaman ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysics of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai din kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Di situ argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas.
Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam. 
http://malay.bismikaallahuma.org/islam-dan-fahaman-pluralisme-agama/
 pluralisme itu berarti menyamakan semua agama itu sama , padahal agama yang paling benar itu adalah islam . apakah mungkin sikap saling menghormati dan menghargai antar umat di indonesia membuat paham pluralisme ini ada ? wallahua'lam

Rabu, 04 Mei 2011

melihat pencakar langit di dubai

Burj Khalifa adalah sebuah pencakar langit di Dubai, Uni Emirat Arab yang diresmikan pembukaannya pada 4 Januari 2010. Ketinggian pencakar langit ini adalah 828 meter. Burj Khalifa adalah bangunan tertinggi di dunia yang pernah dibuat oleh manusia. Dimulai dari melewati ketinggian Taipei 101 sebagai bangunan tertinggi di dunia pada 21 Juli 2007.

Pada tanggal 12 September 2007, Burj Khalifa berhasil melewati ketinggian CN Tower sebagai struktur bebas (tanpa penyangga) tertinggi di dunia dan pada tanggal 7 April 2008 struktur tertinggi di dunia dari Menara KVLY-TV yang berada di Blanchard, North Dakota, Amerika Serikat berhasil dilewati. Struktur tertinggi yang pernah dibuat oleh manusia, Menara Radio Warsawa 645,4 m (2.120 kaki) dibuat pada 1974 (namun runtuh pada saat renovasi pada 1991) berhasil dilewati pada 1 September 2008.